Jakarta yang berlabelkan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia merupakan kota megapolitan yang menawarkan berjuta janji manis bagi pendatang. Tak heran jika tiap tahun Jakarta didatangi oleh para pendatang dari berbagai asal kota bahkan pulau. Baik pendatang yang datang dengan sejuta kesiapan maupun pendatang yang hanya mencoba peruntungan tanpa ada kemahiran sedikit pun dari dirinya. Tak adanya kontrol yang tepat dan tegas dari pemerintah menjadikan wajah kota Jakarta penuh dengan ketimpangan dan kesemrawutan di tengah kemegahan dan tingginya perputaran bisnis. Sebut saja jasa transportasi misalnya. Mulai dari bis trans-Jakarta, KRL, sampai dengan bajaj yang menjadi ikon kota megapolitan tersebut. Terminal bis pun dibangun disana-sini untuk menunjang pergerakan bis-bis tersebut. Tapi apa lah tetap saja semrawut adanya. Kampung Rambutan adalah terminal luas di kota Jakarta dengan persediaan bis yang tak pernah sepi. Bahkan dapat saya katakan kalau loket penjualan, calo tiket, WC umum, calon penumpang, dan para preman tak pernah sepi aktivitasnya. 24 jam non-stop.
Bicara tentang Kampung Rambutan. Tulisan ini akan menceritakan pengalaman saya yang tidak menyenangkan ketika dahulu saya sempat merasakan berjuang pulang ke Solo dengan naik bis melalui terminal Kampung Rambutan. Boleh kalau saya katakan kalau saat-saat itu adalah perjuangan karena saat itu bagi saya segera naik bis dan meninggalkan tempat tersebut adalah permohonan yang paling sangat saya inginkan saat itu. I was begging to God hardly at that time.
Cerita ini terjadi kurang lebih 4 bulan lalu. Dan baru bisa saya tuliskan saat ini karena niatan saya untuk mengisi artikel di halaman blog ini yang sedang membara. Setting tempat berawal dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Saat itu saya baru tiba di tanah air setelah selesai melaksanakan program pertukaran pelajar ke Korea Selatan bersama dua orang teman. Yang satu penerbangan ke Yogyakarta dan yang satu lagi tujuan penerbangan yang sama dengan saya. Yang ke Yogyakarta sudah sempat booking a ticket tetapi kami yang ingin ke Solo belum. Saya tahu bahwa saya belum memiliki tiket pesawat Jakarta – Solo dan saya berpikir bahwa saya akan beli tiket saat tiba di bandara, on the spot. Booking a ticket yang selalu gagal dan konfirmasi yang terlalu lama mengakibatkan saya tidak memiliki tiket ke kota yang saya inginkan. Sesampainya di bandara saya hanya berpikiran untuk pulang ke Solo. Teman saya sudah memperingatkan saya untuk minta jemput saudara yang ada di sekitaran Jakarta. Tetapi saat itu yang ada di pikiran saya adalah untuk bisa sasmpai di Solo, tidak ada yang lain. Alhasil, saudara tidak ada yang menjemput karena sudah saya telepon dan tidak ada jawaban.
Sesampainya di bandara saya mencari tiket Jakarta – Solo dari semua jenis maskapai penerbangan yang ditawarkan di bandara tersebut. Beruntung bagi teman saya yang bisa mendapatkan satu-satunya tiket terakhir penerbangan ke Solo meskipun dengan harga yang sangat mahal sekali. Singkat cerita, dengan kata lain, saya akan pulang sendirian ke Solo. Saya sudah memiliki alternatif transportasi untuk pulang ke Solo yaitu naik bis Rosin. Bis yang bisa dikatakan nyaman dan aman. Akhirnya kami berpisah satu sama lain di bandara tersebut dengan tujuannya masing-masing. Sebelum berpisah saya dan teman saya sempet mendiskusikan bagaimana nantinya dalam perjalanan saya. Saya sempat tanya kepada petugas bandara bagaiamana saya bisa mendapatkan bis Rosin, dan petugas itu pun dengan yakin menjawab silakan pergi ke terminal Kampung Rambutan. Seketika itu juga saya agak ragu karena teman saya yang orang Jakarta dan sering bepergian dengan Rosin menyarankan saya untuk pergi ke terminal Lebak Bulus untuk mendapatkan bis Rosin. Pendirian saya saat itu tergoyahkan karena si petugas menyampikan kalau lebih cepat ke Kampung Rambutan saja dibandingkan ke Lebak Bulus karena akan lewat jalan tol. Berhubung juga saat itu sudah sore, menjelang maghrib, waktunya Jakarta macet, dan takut ketinggalan jadwal bis tersebut dengan yakin saya pun naik bis Damri Bandara menuju Kampung Rambutan. Di dalam bis saya sempat kembali menelepon Bulik saya untuk mengabarkan kalau saya tidak jadi mampir ke rumah. Bulik pun sedikit memaksa saya untuk mampir ke rumah beliau. Bulik lebih terkejut lagi dan tambah memaksa ketika saya berkata kalau turun di Kampung Rambutan. Tetapi karena saya sudah ada di dalam perjalanan bis dan keinginan saya untuk segera sampai di solo akhirnya saya tolak paksaan bulik tersebut. Dan kenangan pahit pahit manis pun dimulai.
Saat itu waktu menunjukkan kurang lebih pukul 4.45 pm. Memang benar jalanan terlihat macet dimana-mana. Saya bisa sedikit berpikir tenang karena bis ini melaju menuju tol. Setelah berkilometer melaju di jalan tol bis pun meluncur di jalanan kota. Alamak belum-belum sudah terkena macet. Saya pikir bahwa terminal dengan pintu keluar tol hanya beberapa menit saja. Dan ternyata sampai berjam-jam jauhnya. Satu per satu penumpang bis Damri mulai turun di tujuannya masing-masing. Tak terasa hanya tinggal 2 orang saja, saya dan penumpang perempuan. Sesaat sampai di terminal Kampung Rambutan saya agak terkejut melihat jam di tangannya yang menujukkan hampir jam 9 pm. Ternyata ini yang dinamakan macet nya Jakarta. Sungguh menyita waktu dan pikiran. Tetapi kejutan tidak berhenti hanya sampai di jam saja. Saat turun bis saya memanggil kernet bis untuk menurunkan koper saya. Agak terkejut si kernet menananyakan koper saya, dan saya menjawab “Ya, koper itu milik saya!!”. Tahu kenapa saya terkejut bukan kepalang setelahnya. Koper saya dengan seenaknya diturunkan dan diberikan ke penumpang lain yang turun di tempat sebelum saya. Betapa Anda tak kan terkejut dengan hal tersebut. Untung saja kejutan itu tidak berlangsung lama karena ada seorang bapak yang turun dari mobil pribadi memanggil dan memberikan koper itu kepada saya. Sambil tersenyum bahagia dalam hati saya berkata “Alhamdulillah..”
Seorang bapak tersebut sudah memberikan koper kepada saya dan sesaat sebelum saya meraihnya ada tangan kekar yang gelap meraih koper saya dengan cepatnya. Tak heran ternyata dia kuli panggul atau dalam istilah kerennya potter. Tanpa basa-basi calo tiket yang sigap datang bersama dengan potter menanyakan kemana saya akan pergi. Seketika itu juga dia siap mencarikan bis menuju Solo. Sayangnya bis Rosin sudah habis jam keberangkatannya. Apa mau dikata saya pun minta kepada calo tiket itu untuk dicarikan bis apa saja yang menuju Solo asalkan executive class. Dasar saya yang kurang berpengalaman dan masih terbawa euforia selama hidup di Korea Selatan saya asal percaya saja dengan orang tersebut.
Sebelum saya lanjutkan cerita paragaraf di atas, saya ingin berbagi bagaiamana teraturnya hidup di Kota Selatan dan betapa baiknya orang-orang di negeri itu. Masalah keteraturan tentu saja Indonesia kalah jauh. Masalah kebaikan orang-orang ternyata orang Korea Selatan sangat jauh lebih ramah dari orang di negeri sendiri. Negara yang hanya terpaut satu hari lebih cepat tanggal kemerdekaannya itu memang termasuk negara maju. Transportasi, jalanan, terminal, dan bisa dikatakan seluruh aktivitasnya sangat teratur. Orang-orang di negeri Ginseng itu sangat ramah khususnya terhadap para foreigners seperti saya saat itu. Jadi apa pun yang disampaikannya ketika saya meminta bantuan langsung saja bisa percaya dan tidak pernah saya merasa ditipu. Semapat dengar cerita ketika ada koper yang tertinggal di sebuah terminal selama berhari-hari dan herannya koper itu tidak bergeser sedikit pun dari tempat semula karena mereka paham betul barang itu bukan miliknya. Tak heran banyak TKI yang betah tinggal di sana. Kesimpulannya KITA harus kembali ke fitrahnya sebagai negara yang penuh adat dan sopan santun. Bertindak untuk kemuliaan diri dan untuk kebaikan orang lain.
Akhirnya si calo tiket mengantarkan saya ke loket tiket bis jurusan ke Solo. Dikelilingi oleh para pemuda preman terminal tanpa basa-basi penjaga tiket mengatakan tiket seharga Rp 260.000,00. Saya pikir ini adalah hal wajar mengingat tiket ini adalah executive class. Merasa tugas si calo sudah selesai di pun pergi tetapi potter tadi tidak serta merta pergi di meminta uang Rp 10.000,00. Saya pun memberinya karena dia patut mendapatkannya. Sesaat saya akan membawa sendiri koper saya ada potter lain dengan tidak jelas memaksa membawakan koper saya. Dengan jarak tempuh membawa koper hanya 7 langkah dia meminta upah Rp 10.000,00. Sambil memaksa dan berkata kalau dia penjaga tempat duduk yang akan saya duduki saya pun memberinya dengan tidak ikhlas. Tidak sampai disitu, hanya beberapa menit saya duduk ada dua orang yang menghampiri saya. Yang satu memaksa saya untuk membeli cincinnya dan yang satu lagi memaksa saya membeli handphone nya. Untuk kali ini saya bersikukuh untuk tidak menanggapinya. Merasa dua orang tadi capek mereka pun pergi. Dan hanya beberapa menit mereka pergi kemudian datang satu orang yang mengaku penjaga keamanan bis yang akan saya naiki. Merasa sedikit lega dan tanpa curiga saya pun sedikit sekali ngobrol dengannya. Tidak lama ngobrol, dua orang tadi datang lagi dengan paksaaan yang lebih tetapi saya pun tegas tidak menanggapinya. Sambil membawakan koper saya penjaga keamanan bis pun berkata kalau bis saya sudah datang kemudian saya pun berlalu meninggalkannya. Satu orang dari mereka tidak menyerah untuk memeras saya. Kemudian saya berkata kalau saya akan memberikan uang yang dia minta yaitu Rp 5.000,00 ketika sudah sampai di dalam bis. Saya beranggapan bahwa mereka tidak akan berani macam-macam ketika penumpang sudah duduk di dalam bis karena ini executive class. Dan ini lah adegan scen yang membuat saya tak habis pikir. Saya sudah curiga dengan bis yang akan saya naiki dari kejauhan yaitu bentuknya sanag mirip bis ekonomi. Memang benar dugaan saya, saat melewti pintu bis dan melihat kondisi di dalam bis sambil hati sangat kecewa dan sangat sekali merasa ditipu bahwa bis yang saya naiki adalah bis ekonomi dan saya membayarnya dengan harga tiket bis eksekutif. Tak sampai disitu, belum saya duduk dengan nyaman, meski sebenarnya sangat tidak nyaman sekali, orang yang mengaku penjaga keamanan itu meminta uang Rp 200.000,00 karena usahanya membawakan koper saya. Kembali saya tak habis pikir bagaimana bisa dia berkata membawakan koper saya yang saya tahu dia memaksa membawakan koper itu. Sangat memaksa. Dan, kembali kepada orang yang meminta uang Rp 5.000,00 tadi bahwa orang itu tidak henti-hentinya memeras saya dengan meminta uang lagi sebesar Rp 50.000,00. Betapa saya ingin marah dan memukul orang itu tapi saya yakin komplotannya sudah menungguku di luar bis jika saya lakukan itu. Bahkan saya duga bahwa sopir dan kernet bis pun berkomplotan dengan orang-orang seperti itu. Dugaan saya diperkuat bahwa sopir dan kernet itu seakan-akan mempersilakan memeras saya. Bis tidak begitu dijalankan ketika semua penumpang sudah siap berangkat. Bis baru berjalan ketika orang terakhir telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Entah saya heran kenapa begitu baiknya saya waktu itu atau seorang penakut saya itu. Saya memberikan mata uang Won Korea sebesar Rp 10.000,00 dan tidak Rp 1.000,00 saja padahal saya berhasil membohongi mereka kalau 1 Won itu Rp 10,00. Betapa saya menyesal tidak mengatakan kalau 1 Won itu Rp 10.000, 00 saja. Pasti saya tidak rugi banyak dan puas membohongi mereka. Sengaja saya memberikan uang Won Korea karena saat itu saya benar-benar habis diperas secara bergantian. Uang rupiah saya habis dan bahkan saya harus meminjam uang Rp 20.000,00 kepada penumpang lain yang saya pun tidak mengenalinya. Selesai memeras, bis pun berjalan.
Saat berjalan, penumpang lain pun silih berganti bertanya dengan saya mengapa bisa terjadi seperti itu. Takut karena diperas lagi, ada pertanyaan yang sengaja yang saya tidak jawab jujur. Telepon dari Bulik Jakarta pun tidak saya angkat, kemudian saya matikan handphone saya. Benar-benar dalam kondisi memprihatinkan saya waktu itu. Ketika kondisi sudah stabil saya pun berani ngobrol dengan uang memeinjami saya uang Rp 20.000,00 dan saya berjanji akan mengembalikannya. Beruntungnya setelah berkenalan dan berterimakasih ternyata, Ihsan, adalah alumni UNS Solo tempat saya juga kuliah dan ternyata juga dia adalah teman dari Pamuko teman saya yang bergabung dalam Semarang Community yang saya pimpin. Puji syukur betapa ada sedikit kondisi dimana saya bisa tersenyum lega. Kami pun mengobrol selama perjalanan dan saya ceritakan permasalahan sebenarnya saat preman memeras saya.
Waktu terus berjalan, dari mulai malam berangkat dari Kampung Rambutan sampai siang pun tiba di Cirebon. Bis berjalan sangat lambat saat malam hari karena lampu bis terjatuh dan rusak. Siang hari, bertepatan dengan long week end jalanan pun macet dimana-mana. Saya pikir saya akan sampai di Solo kurang lebih tengah hari di hari berikutnya. Tapi apa mau dikata, dasar memang sejak awal saya ada masalah dengan bis yang saya naiki hampir 18 jam perjalanan dari Kampung Rambutan bis baru sampai di perjalanan masuk Kota Kendal. Kecewa berat saya dibuatnya. Akhirnya ketahanan bis tidak layak jalan itu menemui batasnya. Ban pun bocor. Seluruh penumpang menunggu sopir dan kernet memperbaikinya selama hampir 2 jam. Ada yang tidak tahan dengan kondisi ini akhirnya memilih untuk naik bis lain. Saya dan Ihsan berpikiran sama tetapi kami berdua sudah kehabisan uang saat itu. Kalau kami punya uang pasti Kami akan ikut mereka untuk pindah bis. Mesin ATM pun tidak ada di sekitaran tempat bis bocor ban. Apa mau dikata kami pun menunggu bis selesai diperbaiki. Selama menunggu itu saya menghidupkan handphone. SMS pending masuk dan panggilan telepon masuk tidak lama kemudian. Yaitu ibu saya yang menelepon menanyakan kabar. Saran ibu supaya saya turun di Candi, Kota Semarang dan pilih naik taksi untuk sampai di rumah Semarang saja dan tidak perlu sampai ke Solo. Saya pun menurutinya. Singkat cerita, saya pun naik taksi dan sampai lah di rumah dan disambut dengan Bapak. Alhamdulillahirobbil alamin...
Pengalaman ini langsung menjadi top of consideration saya dalam bepergian dari dan menuju ke luar Jakarta. Saya tidak ingin kejadian pahit itu terulang lagi untuk kedua kalinya terlebih lagi menimpa keluarga saya. Ada beberapa hikmah yang saya dapatkan dari pengalaman pahit tersebut yaitu :
1. Yang pertama dan yang utama, patuhi nasehat orang tua. Saat itu saya mengabaikan saran dari Bulik untuk tinggal dulu semalam di rumah;
2. Bepergian sendirian/dengan banyak barang bawaan dari dan menuju luar Jakarta adalah sangat tepat jika naik transportasi privat jasa travel, tentunya yang terpercaya;
3. Jangan lagsung percaya dengan yang tidak dikenal meskipun dia adalah petugas bandara sekalipun, percayai orang yang sudah dikenal saja, teman;
4. Berpikir untuk mencari alternatif tujuan lain. Saat itu saya hanya berpikiran untuk flight ke Solo dan tidak kepikiran untuk flight ke Semarang padahal rumah orang tua ada di Semarang;
5. Meminta teman/keluarga untuk menemani ke tujuan yang belum pernah dituju;
6. Back to reality, bahwa ini adalah Indonesia dan bukan Korea Selatan.
Dan begitulah pengalaman ini saya bagi kepada Blogwalker sekalian. Semoga bisa menjadi tindakan preventif bagi yang mengalami kondisi seperti yang saya ceritakan di awal cerita ini.
Salam Hangat,
Mukhtar Habib
Email : mukhtar.habib@rocketmail.com
Facebook : Mukhtar Habib
Twitter : @mukhtarhabib
Skype : m.habiib