DAMPAK APEC TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN KAWASAN DAN IMPLIKASINYA PADA SEKTOR PERTANIAN

A. Keunggulan dan Kesesuaian dengan Kondisi Terkini
Forum Kerjasama Ekonomi negara-negara di kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation-APEC) dibentuk pada tahun 1989 berdasarkan gagasan Perdana Menteri Australia, Bob Hawke. Tujuan forum ini selain untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi kawasan juga mengembangkan dan memproyeksikan kepentingan-kepentingan kawasan dalam konteks multilateral. Mengingat APEC lebih dititikberatkan pada hubungan ekonomi, maka setiap anggota, termasuk negara, disebut sebagai entitas ekonomi. Keanggotaan APEC terdiri dari 21 ekonomi yang terdiri dari Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, PNG, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Chinese Taipei, Thailand, AS dan Vietnam. Manfaat APEC Bagi Indonesia antara lain sebagai berikut :
1. APEC merupakan forum yang fleksibel untuk membahas isu-isu ekonomi internasional.
2. APEC merupakan forum konsolidasi menuju era perdagangan terbuka dan sejalan dengan prinsip perdagangan multilateral
3. Peningkatan peran swasta dan masyarakat Indonesia menuju liberalisasi perdagangan
Salah satu pilar APEC yaitu fasilitasi perdagangan dan investasi secara langsung akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha di Indonesia. Beberapa inisiatif APEC yang memberikan manfaat kepada dunia usaha di Indonesia antara lain melalui pelaksanaan APEC Business Travel Card (ABTC) serta penyederhanaan prosedur kepabeanan.
4. Peningkatan Human and Capacity Building
Indonesia dapat memanfaatkan proyek-proyek APEC untuk peningkatan kapasitas dan peningkatan sumber daya manusia, baik yang disponsori oleh anggota ekonomi tertentu maupun melalui skema APEC.
5. Sumber peningkatan potensi ekonomi perdagangan dan investasi Indonesia. Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan potensi pasar APEC bagi peningkatan ekspor maupun arus investasi, khususnya karena mitra dagang utama Indonesia sebagian besar berasal dari kawasan APEC.
6. APEC sebagai forum untuk bertukar pengalaman
Forum APEC yang pada umumnya berbentuk policy dialogue memiliki manfaat yang sangat besar terutama untuk menarik pelajaran dan pengalaman positif maupun negatif (best practices) anggota APEC lainnya dalam hal pengambilan dan pembuatan kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi.
7. Memproyeksikan kepentingan-kepentingan Indonesia dalam konteks ekonomi internasional
8. APEC merupakan salah satu forum yang memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.

B. Kelemahan APEC : Dampak Globalisasi Pertanian
Globalisasi secara teoretis penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi ekspor- impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaan-perusahaan TNCs dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi. Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004) berpendapat bahwa pengintegrasian perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga akan menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan kekacauan sosial
Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan modal-modal sosial. Meskipun gagasannya dituangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility TNCs, namun hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich (1989), menghadirkan sebuah lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan maksud memotong struktur hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi, kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang tidak mengindahkan karakteristik sosio-budaya dan pranata lokal, dan dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil penelitian FAO atas negara-negara yang mengimplementasikan kesepakatan Putaran Uruguay di 16 negara menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi pertanian yang jelas berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan. Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian meningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya hanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti, karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu sesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu (shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensi memandang bahwa proses produksi usahatan (on-farm) sangat rentan terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi kemitraan atau contract farming. Sebagaimana dikatakan Evans (1979) dan Warren (1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun berada dalam kondisi ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai dependent development. Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung, seperti gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, serta risiko dan ketidakpastian lainnya. Dampak yang paling kentara adalah terjadinya “kemandegan inovasi” dalam seluruh sistem agribisnis. Ini merupakan implikasi dari ketergantungan pada produk-produk impor. Pemikiran efisiensi yang diadopsi secara mentah-mentah telah menyebabkan bangsa yang kaya akan sumber daya ini jatuh pada budaya instan dan malas. Produk-produk yang senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya karena alasan murah. Para pelaku importir yang sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangkan produk-produk dari luar karena longgarnya regulasi ekspor-impor. Dampak budayanya adalah melemahnya penghargaan atas produk-produk lokal, sebagai akibat dari berkembangnya budaya konsumerisme yang kebarat- baratan (western). Kondisi ini jelas sangat menguntungkan TNCs, karena secara perlahan inovasi lokal tercerabut dari budayanya. Ini merupakan peluang besar bagi investasi. Dampak lainnya adalah tidak berperannya kelembagaan-kelembagaan pendukung pertanian lokal. Hal ini terjadi karena TNCs selaku pihak yang kuasa, telah memasok segala kebutuhan petani (buruh) secara langsung. Pada kondisi seperti ini kreativitas dan keinovatifan kelembagaan pendukung pertanian pemerintah malah menjadi mandul. Pada ujungnya, globalisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi yang serba spekulatif. Meningkatnya dominasi dan persaingan tidak menutup kemungkinan akan mendorong pihak yang lemah untuk menerapkan strategi picik, seperti polusi dan kekacauan pasar (market chaos), instabilitas dan polusi politik, penghancuran komoditas lewat penyebaran virus secara terencana, social chaos, dan pembentukan opini publik.

C. Pendapat/Opini
ASIA-Pacific Economic Cooperation (APEC) tidak bisa dipisahkan dari peranan Indonesia. Indonesia memainkan peran yang sangat menentukan untuk merumuskan visi APEC. Indonesia juga berperan aktif dalam mencetuskan Bogor Goals, yaitu mewujudkan kawasan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka tahun 2010 untuk negara maju serta 2020 untuk negara berkembang. Anggota APEC saat ini merepresentasikan sepertiga populasi dunia dan hampir 50% kekuatan perekonomian global. Dengan kata lain, potensi pasar global dan gravitasi aktivitas ekonomi dunia berada di kawasan ini. Masalahnya kini, seberapa jauh manfaat dan efektivitas forum APEC bagi perdagangan dan investasi Indonesia.
Para pendukung APEC mengajukan keuntungan APEC sebagai berikut. Pertama, APEC masih dapat bermanfaat bagi Indonesia, khususnya dalam hal peningkatan fasilitas perdagangan dan investasi serta kerja sama ekonomi dan teknis (ECOTECH). Kerja sama APEC tetap relevan mengingat anggotanya dapat mendiskusikan isu-isu perdagangan dan investasi tanpa harus bernegosiasi.Suatu hal yang tidak dapat dilakukan di World Trade Organization (WTO). Kedua, sesuai dengan Bogor Goals, liberalisasi perdagangan akan dilaksanakan pada 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang.Hal tersebut bisa menjadi: (1) benchmark untuk mengukur tingkat kesuksesan liberalisasi perdagangan forum kerja sama tersebut, (2) memacu Indonesia mempersiapkan diri secara serius menuju era liberalisasi perdagangan dan investasi. Ketiga, prinsip open regionalism masih tetap kental dalam forum APEC. Artinya, isu nondiskriminasi dan perlakuan yang sama bagi negara nonanggota (sering disebut most favored nation/MFN) tetap merupakan salah satu daya tarik APEC. Keempat, pertemuan para pemimpin informal (informal leaders meeting) terbukti masih dapat digunakan untuk memecahkan isu-isu yang dianggap sensitif, baik pada level bilateral, trilateral maupun multilateral. Adanya mekanisme untuk membahas isuisu baru seperti competition policy and investment serta non-economic issues tanpa melalui negosiasi. Kritik terhadap APEC bukannya tidak ada. APEC tidak efektif dan kurang responsif. Bahkan mempertanyakan relevansi APEC dalam memajukan kesejahteraan masyarakat. Ini bisa dipahami karena beberapa perkembangan di dalam APEC itu sendiri seperti trade facilitation dan capacity building sulit diukur manfaatnya. Selain itu, meskipun pembentukan APEC lebih berdasarkan pada globalisasi dan liberalisasi ekonomi, sejak 2001 APEC mulai memasukkan isu-isu yang tidak terkait dengan ekonomi seperti isu keamanan dan sosial. Memang harus diakui, indikator-indikator ekonomi dimaksud tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan sosial (social welfare).
Gaung APEC mulai meredup ketika muncul banyak PTA, baik RTA maupun BTA di kawasan Asia Pasifik. Negaranegara ASEAN,termasuk Indonesia, sepakat mempercepat pembentukan ASEAN Economic Community 2015 meski sudah membentuk AFTA (ASEAN Free Trade Area) sejak 1992. Setidaknya sudah ada 15 PTA antarnegara Asia- Pasifik, ditambah 30 PTA baru yang baru dalam negosiasi selama tujuh tahun terakhir. Kepentingan nasional tiap negara agaknya merupakan alasan pragmatis di balik menjamurnya PTA. Karena itu, dalam forum APEC pun hendaknya kepentingan nasional perlu kita prioritaskan. Pertama, perlunya arah yang jelas dalam kebijakan perdagangan kita, khususnya dalam forum APEC, WTO maupun PTA. Selama ini, kebijakan perdagangan yang dicanangkan oleh pemerintah mencakup: (1) kebijakan bea masuk (tariff policy), (2) penghapusan kuota, (3) pembebasan bea masuk atau konsesi, (4) kebijakan non-tariff lainnya. Kedua, para perunding kita dalam forum APEC perlu didampingi ahli-ahli yang kompeten dalam bidang industri, jasa, pertanian, dan ekonomi regional. Forum APEC perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk dan daerah Indonesia. Akhirnya, kita harus mengubah pandangan tentang think globally but act locally menjadi think and act globally and regionally dalam forum seperti APEC.




DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Analisis, APEC dan Kepentingan Indonesia. Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Yogyakarta.
Setiawan, Iwan. 2004. Dampak Globalisasi Terhadap Pertanian Indonesia. Makalah disampaikan dalam Seminar Interaktif Globalisasi Pertanian Indonesia, Sudah Dimana? Gugatan Harga Diri Bangsa dan Nasib Petani. Universitas Padjajaran. Bandung.
Category: 1 komentar