Tuhan Dengarlah Keluhku




Ingin ku lepas keluhku
Pada-Mu Tuhan penyayangku
Ku akui semua dosaku
Meski tersipu tertunduk malu
Jiwa dan hati tertutup debu
Akan ku terkurung nafsu
Ketaatanku tertimbun penuh dosaku
Tuhan tutupi aibku
Tuhan jangan biarkan diriku
Semakin jauh tertipu nafsu
Hanya pada-Mu ku mohon ampun dari semua dosa
Jari lemahku mengetuk pintu maaf-Mu
Agar kau hapus salahku
Hanya pada-Mu ku mohon ampun dari semua dosa
Jari lemahku mengetuk pintu maaf-Mu
Agar Kau hapus salahaku
Tuhan dengarlah keluhku


Song tittled "Tuhan Dengarlah Keluhku" by : Haddad Alwi



Category: 0 komentar

KAMPUNG RAMBUTAN, PREMAN, DAN BIS TAK LAYAK JALAN


Jakarta yang berlabelkan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia merupakan kota megapolitan yang menawarkan berjuta janji manis bagi pendatang. Tak heran jika tiap tahun Jakarta didatangi oleh para pendatang dari berbagai asal kota bahkan pulau. Baik pendatang yang datang dengan sejuta kesiapan maupun pendatang yang hanya mencoba peruntungan tanpa ada kemahiran sedikit pun dari dirinya. Tak adanya kontrol yang tepat dan tegas dari pemerintah menjadikan wajah kota Jakarta penuh dengan ketimpangan dan kesemrawutan di tengah kemegahan dan tingginya perputaran bisnis. Sebut saja jasa transportasi misalnya. Mulai dari bis trans-Jakarta, KRL, sampai dengan bajaj yang menjadi ikon kota megapolitan tersebut. Terminal bis pun dibangun disana-sini untuk menunjang pergerakan bis-bis tersebut. Tapi apa lah tetap saja semrawut adanya. Kampung Rambutan adalah terminal luas di kota Jakarta dengan persediaan bis yang tak pernah sepi. Bahkan dapat saya katakan kalau loket penjualan, calo tiket, WC umum, calon penumpang, dan para preman tak pernah sepi aktivitasnya. 24 jam non-stop.

Bicara tentang Kampung Rambutan. Tulisan ini akan menceritakan pengalaman saya yang tidak menyenangkan ketika dahulu saya sempat merasakan berjuang pulang ke Solo dengan naik bis melalui terminal Kampung Rambutan. Boleh kalau saya katakan kalau saat-saat itu adalah perjuangan karena saat itu bagi saya segera naik bis dan meninggalkan tempat tersebut adalah permohonan yang paling sangat saya inginkan saat itu. I was begging to God hardly at that time.

Cerita ini terjadi kurang lebih 4 bulan lalu. Dan baru bisa saya tuliskan saat ini karena niatan saya untuk mengisi artikel di halaman blog ini yang sedang membara. Setting tempat berawal dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Saat itu saya baru tiba di tanah air setelah selesai melaksanakan program pertukaran pelajar ke Korea Selatan bersama dua orang teman. Yang satu penerbangan ke Yogyakarta dan yang satu lagi tujuan penerbangan yang sama dengan saya. Yang ke Yogyakarta sudah sempat booking a ticket tetapi kami yang ingin ke Solo belum. Saya tahu bahwa saya belum memiliki tiket pesawat Jakarta – Solo dan saya berpikir bahwa saya akan beli tiket saat tiba di bandara, on the spot. Booking a ticket yang selalu gagal dan konfirmasi yang terlalu lama mengakibatkan saya tidak memiliki tiket ke kota yang saya inginkan. Sesampainya di bandara saya hanya berpikiran untuk pulang ke Solo. Teman saya sudah memperingatkan saya untuk minta jemput saudara yang ada di sekitaran Jakarta. Tetapi saat itu yang ada di pikiran saya adalah untuk bisa sasmpai di Solo, tidak ada yang lain. Alhasil, saudara tidak ada yang menjemput karena sudah saya telepon dan tidak ada jawaban.

Sesampainya di bandara saya mencari tiket Jakarta – Solo dari semua jenis maskapai penerbangan yang ditawarkan di bandara tersebut. Beruntung bagi teman saya yang bisa mendapatkan satu-satunya tiket terakhir penerbangan ke Solo meskipun dengan harga yang sangat mahal sekali. Singkat cerita, dengan kata lain, saya akan pulang sendirian ke Solo. Saya sudah memiliki alternatif transportasi untuk pulang ke Solo yaitu naik bis Rosin. Bis yang bisa dikatakan nyaman dan aman. Akhirnya kami berpisah satu sama lain di bandara tersebut dengan tujuannya masing-masing. Sebelum berpisah saya dan teman saya sempet mendiskusikan bagaimana nantinya dalam perjalanan saya. Saya sempat tanya kepada petugas bandara bagaiamana saya bisa mendapatkan bis Rosin, dan petugas itu pun dengan yakin menjawab silakan pergi ke terminal Kampung Rambutan. Seketika itu juga saya agak ragu karena teman saya yang orang Jakarta dan sering bepergian dengan Rosin menyarankan saya untuk pergi ke terminal Lebak Bulus untuk mendapatkan bis Rosin. Pendirian saya saat itu tergoyahkan karena si petugas menyampikan kalau lebih cepat ke Kampung Rambutan saja dibandingkan ke Lebak Bulus karena akan lewat jalan tol. Berhubung juga saat itu sudah sore, menjelang maghrib, waktunya Jakarta macet, dan takut ketinggalan jadwal bis tersebut dengan yakin saya pun naik bis Damri Bandara menuju Kampung Rambutan. Di dalam bis saya sempat kembali menelepon Bulik saya untuk mengabarkan kalau saya tidak jadi mampir ke rumah. Bulik pun sedikit memaksa saya untuk mampir ke rumah beliau. Bulik lebih terkejut lagi dan tambah memaksa ketika saya berkata kalau turun di Kampung Rambutan. Tetapi karena saya sudah ada di dalam perjalanan bis dan keinginan saya untuk segera sampai di solo akhirnya saya tolak paksaan bulik tersebut. Dan kenangan pahit pahit manis pun dimulai.

Saat itu waktu menunjukkan kurang lebih pukul 4.45 pm. Memang benar jalanan terlihat macet dimana-mana. Saya bisa sedikit berpikir tenang karena bis ini melaju menuju tol. Setelah berkilometer melaju di jalan tol bis pun meluncur di jalanan kota. Alamak belum-belum sudah terkena macet. Saya pikir bahwa terminal dengan pintu keluar tol hanya beberapa menit saja. Dan ternyata sampai berjam-jam jauhnya. Satu per satu penumpang bis Damri mulai turun di tujuannya masing-masing. Tak terasa hanya tinggal 2 orang saja, saya dan penumpang perempuan. Sesaat sampai di terminal Kampung Rambutan saya agak terkejut melihat jam di tangannya yang menujukkan hampir jam 9 pm. Ternyata ini yang dinamakan macet nya Jakarta. Sungguh menyita waktu dan pikiran. Tetapi kejutan tidak berhenti hanya sampai di jam saja. Saat turun bis saya memanggil kernet bis untuk menurunkan koper saya. Agak terkejut si kernet menananyakan koper saya, dan saya menjawab “Ya, koper itu milik saya!!”. Tahu kenapa saya terkejut bukan kepalang setelahnya. Koper saya dengan seenaknya diturunkan dan diberikan ke penumpang lain yang turun di tempat sebelum saya. Betapa Anda tak kan terkejut dengan hal tersebut. Untung saja kejutan itu tidak berlangsung lama karena ada seorang bapak yang turun dari mobil pribadi memanggil dan memberikan koper itu kepada saya. Sambil tersenyum bahagia dalam hati saya berkata “Alhamdulillah..”

Seorang bapak tersebut sudah memberikan koper kepada saya dan sesaat sebelum saya meraihnya ada tangan kekar yang gelap meraih koper saya dengan cepatnya. Tak heran ternyata dia kuli panggul atau dalam istilah kerennya potter. Tanpa basa-basi calo tiket yang sigap datang bersama dengan potter menanyakan kemana saya akan pergi. Seketika itu juga dia siap mencarikan bis menuju Solo. Sayangnya bis Rosin sudah habis jam keberangkatannya. Apa mau dikata saya pun minta kepada calo tiket itu untuk dicarikan bis apa saja yang menuju Solo asalkan executive class. Dasar saya yang kurang berpengalaman dan masih terbawa euforia selama hidup di Korea Selatan saya asal percaya saja dengan orang tersebut.

Sebelum saya lanjutkan cerita paragaraf di atas, saya ingin berbagi bagaiamana teraturnya hidup di Kota Selatan dan betapa baiknya orang-orang di negeri itu. Masalah keteraturan tentu saja Indonesia kalah jauh. Masalah kebaikan orang-orang ternyata orang Korea Selatan sangat jauh lebih ramah dari orang di negeri sendiri. Negara yang hanya terpaut satu hari lebih cepat tanggal kemerdekaannya itu memang termasuk negara maju. Transportasi, jalanan, terminal, dan bisa dikatakan seluruh aktivitasnya sangat teratur. Orang-orang di negeri Ginseng itu sangat ramah khususnya terhadap para foreigners seperti saya saat itu. Jadi apa pun yang disampaikannya ketika saya meminta bantuan langsung saja bisa percaya dan tidak pernah saya merasa ditipu. Semapat dengar cerita ketika ada koper yang tertinggal di sebuah terminal selama berhari-hari dan herannya koper itu tidak bergeser sedikit pun dari tempat semula karena mereka paham betul barang itu bukan miliknya. Tak heran banyak TKI yang betah tinggal di sana. Kesimpulannya KITA harus kembali ke fitrahnya sebagai negara yang penuh adat dan sopan santun. Bertindak untuk kemuliaan diri dan untuk kebaikan orang lain.

Akhirnya si calo tiket mengantarkan saya ke loket tiket bis jurusan ke Solo. Dikelilingi oleh para pemuda preman terminal tanpa basa-basi penjaga tiket mengatakan tiket seharga Rp 260.000,00. Saya pikir ini adalah hal wajar mengingat tiket ini adalah executive class. Merasa tugas si calo sudah selesai di pun pergi tetapi potter tadi tidak serta merta pergi di meminta uang Rp 10.000,00. Saya pun memberinya karena dia patut mendapatkannya. Sesaat saya akan membawa sendiri koper saya ada potter lain dengan tidak jelas memaksa membawakan koper saya. Dengan jarak tempuh membawa koper hanya 7 langkah dia meminta upah Rp 10.000,00. Sambil memaksa dan berkata kalau dia penjaga tempat duduk yang akan saya duduki saya pun memberinya dengan tidak ikhlas. Tidak sampai disitu, hanya beberapa menit saya duduk ada dua orang yang menghampiri saya. Yang satu memaksa saya untuk membeli cincinnya dan yang satu lagi memaksa saya membeli handphone nya. Untuk kali ini saya bersikukuh untuk tidak menanggapinya. Merasa dua orang tadi capek mereka pun pergi. Dan hanya beberapa menit mereka pergi kemudian datang satu orang yang mengaku penjaga keamanan bis yang akan saya naiki. Merasa sedikit lega dan tanpa curiga saya pun sedikit sekali ngobrol dengannya. Tidak lama ngobrol, dua orang tadi datang lagi dengan paksaaan yang lebih tetapi saya pun tegas tidak menanggapinya. Sambil membawakan koper saya penjaga keamanan bis pun berkata kalau bis saya sudah datang kemudian saya pun berlalu meninggalkannya. Satu orang dari mereka tidak menyerah untuk memeras saya. Kemudian saya berkata kalau saya akan memberikan uang yang dia minta yaitu Rp 5.000,00 ketika sudah sampai di dalam bis. Saya beranggapan bahwa mereka tidak akan berani macam-macam ketika penumpang sudah duduk di dalam bis karena ini executive class. Dan ini lah adegan scen yang membuat saya tak habis pikir. Saya sudah curiga dengan bis yang akan saya naiki dari kejauhan yaitu bentuknya sanag mirip bis ekonomi. Memang benar dugaan saya, saat melewti pintu bis dan melihat kondisi di dalam bis sambil hati sangat kecewa dan sangat sekali merasa ditipu bahwa bis yang saya naiki adalah bis ekonomi dan saya membayarnya dengan harga tiket bis eksekutif. Tak sampai disitu, belum saya duduk dengan nyaman, meski sebenarnya sangat tidak nyaman sekali, orang yang mengaku penjaga keamanan itu meminta uang Rp 200.000,00 karena usahanya membawakan koper saya. Kembali saya tak habis pikir bagaimana bisa dia berkata membawakan koper saya yang saya tahu dia memaksa membawakan koper itu. Sangat memaksa. Dan, kembali kepada orang yang meminta uang Rp 5.000,00 tadi bahwa orang itu tidak henti-hentinya memeras saya dengan meminta uang lagi sebesar Rp 50.000,00. Betapa saya ingin marah dan memukul orang itu tapi saya yakin komplotannya sudah menungguku di luar bis jika saya lakukan itu. Bahkan saya duga bahwa sopir dan kernet bis pun berkomplotan dengan orang-orang seperti itu. Dugaan saya diperkuat bahwa sopir dan kernet itu seakan-akan mempersilakan memeras saya. Bis tidak begitu dijalankan ketika semua penumpang sudah siap berangkat. Bis baru berjalan ketika orang terakhir telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Entah saya heran kenapa begitu baiknya saya waktu itu atau seorang penakut saya itu. Saya memberikan mata uang Won Korea sebesar Rp 10.000,00 dan tidak Rp 1.000,00 saja padahal saya berhasil membohongi mereka kalau 1 Won itu Rp 10,00. Betapa saya menyesal tidak mengatakan kalau 1 Won itu Rp 10.000, 00 saja. Pasti saya tidak rugi banyak dan puas membohongi mereka. Sengaja saya memberikan uang Won Korea karena saat itu saya benar-benar habis diperas secara bergantian. Uang rupiah saya habis dan bahkan saya harus meminjam uang Rp 20.000,00 kepada penumpang lain yang saya pun tidak mengenalinya. Selesai memeras, bis pun berjalan.

Saat berjalan, penumpang lain pun silih berganti bertanya dengan saya mengapa bisa terjadi seperti itu. Takut karena diperas lagi, ada pertanyaan yang sengaja yang saya tidak jawab jujur. Telepon dari Bulik Jakarta pun tidak saya angkat, kemudian saya matikan handphone saya. Benar-benar dalam kondisi memprihatinkan saya waktu itu. Ketika kondisi sudah stabil saya pun berani ngobrol dengan uang memeinjami saya uang Rp 20.000,00 dan saya berjanji akan mengembalikannya. Beruntungnya setelah berkenalan dan berterimakasih ternyata, Ihsan, adalah alumni UNS Solo tempat saya juga kuliah dan ternyata juga dia adalah teman dari Pamuko teman saya yang bergabung dalam Semarang Community yang saya pimpin. Puji syukur betapa ada sedikit kondisi dimana saya bisa tersenyum lega. Kami pun mengobrol selama perjalanan dan saya ceritakan permasalahan sebenarnya saat preman memeras saya.

Waktu terus berjalan, dari mulai malam berangkat dari Kampung Rambutan sampai siang pun tiba di Cirebon. Bis berjalan sangat lambat saat malam hari karena lampu bis terjatuh dan rusak. Siang hari, bertepatan dengan long week end jalanan pun macet dimana-mana. Saya pikir saya akan sampai di Solo kurang lebih tengah hari di hari berikutnya. Tapi apa mau dikata, dasar memang sejak awal saya ada masalah dengan bis yang saya naiki hampir 18 jam perjalanan dari Kampung Rambutan bis baru sampai di perjalanan masuk Kota Kendal. Kecewa berat saya dibuatnya. Akhirnya ketahanan bis tidak layak jalan itu menemui batasnya. Ban pun bocor. Seluruh penumpang menunggu sopir dan kernet memperbaikinya selama hampir 2 jam. Ada yang tidak tahan dengan kondisi ini akhirnya memilih untuk naik bis lain. Saya dan Ihsan berpikiran sama tetapi kami berdua sudah kehabisan uang saat itu. Kalau kami punya uang pasti Kami akan ikut mereka untuk pindah bis. Mesin ATM pun tidak ada di sekitaran tempat bis bocor ban. Apa mau dikata kami pun menunggu bis selesai diperbaiki. Selama menunggu itu saya menghidupkan handphone. SMS pending masuk dan panggilan telepon masuk tidak lama kemudian. Yaitu ibu saya yang menelepon menanyakan kabar. Saran ibu supaya saya turun di Candi, Kota Semarang dan pilih naik taksi untuk sampai di rumah Semarang saja dan tidak perlu sampai ke Solo. Saya pun menurutinya. Singkat cerita, saya pun naik taksi dan sampai lah di rumah dan disambut dengan Bapak. Alhamdulillahirobbil alamin...

Pengalaman ini langsung menjadi top of consideration saya dalam bepergian dari dan menuju ke luar Jakarta. Saya tidak ingin kejadian pahit itu terulang lagi untuk kedua kalinya terlebih lagi menimpa keluarga saya. Ada beberapa hikmah yang saya dapatkan dari pengalaman pahit tersebut yaitu :
1.    Yang pertama dan yang utama, patuhi nasehat orang tua. Saat itu saya mengabaikan saran dari Bulik untuk tinggal dulu semalam di rumah;
2.      Bepergian sendirian/dengan banyak barang bawaan dari dan menuju luar Jakarta adalah sangat tepat jika naik transportasi privat jasa travel, tentunya yang terpercaya;
3.  Jangan lagsung percaya dengan yang tidak dikenal meskipun dia adalah petugas bandara sekalipun, percayai orang yang sudah dikenal saja, teman;
4.      Berpikir untuk mencari alternatif tujuan lain. Saat itu saya hanya berpikiran untuk flight ke Solo dan tidak kepikiran untuk flight ke Semarang padahal rumah orang tua ada di Semarang;
5.      Meminta teman/keluarga untuk menemani ke tujuan yang belum pernah dituju;
6.      Back to reality, bahwa ini adalah Indonesia dan bukan Korea Selatan.

Dan begitulah pengalaman ini saya bagi kepada Blogwalker sekalian. Semoga bisa menjadi tindakan preventif bagi yang mengalami kondisi seperti yang saya ceritakan di awal cerita ini.


Salam Hangat,
Mukhtar Habib
Email : mukhtar.habib@rocketmail.com
Facebook : Mukhtar Habib
Twitter : @mukhtarhabib
Skype : m.habiib
Category: 9 komentar

HEART CONFESSION ON SATURDAY NIGHT


Dan tidak tahu kenapa hasrat saya untuk menulis artikel seperti meledak-ledak, apakah karena akhir-akhir ini saya cukup banyak waktu untuk bisa dikatakan menganggur. Posisi yang satu itu memang tidak lah mengenakkan, dimana saya tipe orang pekerja keras dan suka dengan kesibukan dan ketika ada di suatu titik itu saya merasa seperti orang yang benar-benar tidak berguna, dan menulis ini adalah untuk memberikan ketenangan pada diri dan pikiran saya untuk bisa dikatakan sedikit berguna Sepertinya saya merasa seperti sedang kuliah dulu tepatnya ketika tahap penyelesaian skripsi dimana teman-teman saya sudah berada di tahap, katakan lah, tahap X+1 sedangkan saya berada di tahap X-2. Saya bahkan tertinggal minus satu, jauh tertinggal. Kadang saya iri tapi iri saya adalah positif layaknya kuda pacu yang berlomba di lintasan sekuat tenaga memberikan yang terbaik. Dan saat itu saya terlihat kalah cepat karena teman-teman saya lebih cepat lulus dibandingkan saya. Begitu juga saat ini saya iri, iri saya positif, melihat teman-teman sudah berkarya memeras keringat demi sebongkah emas berlian sementara saat ini saya belum. Dalam diri saya berkata “Ah ini hanya lah sementara”. Saat ini mungkin menulis adalah kesempatan mengasah kemampuan saya lainnya. Gairah menulis ini berawal dari ketika saya menonton tayangan di televisi mengenai kisah seorang yang muda dan yang berprestasi yang suka menulis juga. Bagi saya mungkin kegiatan itu cocok dengan saya saat ini. Bagi saya mungkin kegiatan itu cocok dengan saya yang suka bercerita. Cerita yang saya sampaikan kepada teman-teman bukan lah cerita pribadi mendalam. Saya memang suka cerita tetapi saya juga termasuk orang tertutup. Pernah ada tes psikologis sederhana yang saya lakukan dan hasilnya adalah saya termasuk orang yang memiliki nilai seimbang untuk orang dengan karakter warna merah dan biru.

Saat saya menulis ini adalah ketika malam minggu. Di saat orang lain lebih tepatnya pemuda/pemudi pergi melepas penat dengan pergi bersama pasangannya saya malah ada di depan komputer menulis artikel ini dengan ditemani musikalisasi puisi Ari Reda dan segelas kopimix. Suasana yang sangat mendukung untuk berpikir cepat. Ketika menulis artikel ini pula sedang diselenggarakannya Semarang Night Carnival dan saya malah melakukan senam jari memijat keyboard dan mengelus mouse. Memang saya tidak begitu suka dengan acara hang out tetapi ketika ada yang mengajak travelling or hiking to the top of mountain saya akan sangat tertarik sekali. Tetapi saya masih bisa dinego kemana pun akan pergi. Fleksibel. Bisa dikatakan saya lebih tertarik di rumah saja ketimbang di luar. Saya merasa tidak perlu pergi ke luar saat ini. Memang seakan-akan hati ini masih terngiang dengan hidup saya di kos yang suka hang out mungkin bisa disebut hang out yang berbeda. Dulu pergi ke luar untuk melakukan tuga –tugas kuliah dan tugas-tugas organisasi. Tetapi itu lah menariknya karena banyak hal baru yang saya dapatkan. Mungkin akan sama saja tetapi mungkin saya belum bisa beradaptasi lagi dengan kehidupan rumah. Banyak teman yang sibuk. Banyak teman yang saya lupa, rumah dan nomor hand phone nya. Tetapi saya belum pikun saya masih bisa mengenal dan menyebut nama ketika bertemu mereka. Hanya satu kelompok teman yang tak akan terlupakan yaitu Coploxthox.

Akhir-akhir ini hari-hari ku memang tak semenarik yang biasanya, bagi saya. Tidak banyak frame adegan yang saya lakukan. Hanya berkutat di sekitar rumah dan melakukan hal monoton. Menjenuhkan memang tetapi entah saya bisa nyaman dengan hal itu di rumah ini. Rumah saya bukan lah rumah gedongan dengan fasilitas sangat lengkap tetapi adalah rumah sederhana apa adanya. Sederhana dan disyukuri. Bangun pagi sholat subuh jama’ah adalah rutinitas yang tidak boleh terlewatkan. Karena menurut yang saya ketahui subuh itu adalah ketika malaikat turun langsung datang melihat kita beribadah. Memang tiap harinya saya harus sholat berjama’ah di mushola. Bagaimana tidak, malu saya jika tidak bisa sholat jama’ah, karena jarak mushola dengan rumah saya hanya berjarak kurang lebih 13 langkah. Di sekitar rumah ada 6 mushola/masjid, itu yang saya ketahui. Jadi bisa dibayangkan ketika adzan dan pengajian bersamaan. Sangat pesantren sekali suasananya. Tiap ada adzan atau pengajian cukup duduk manis di rumah pun sudah seperti datang pengajian di mushola. Itu lah nikmat yang saya dapatkan. Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau di rumah memang saya usahakan sholat berjamaah karena saya selalu tidak bisa sholat berjamaah ketika ada di kos, kecuali sholat jum’at. Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selamat pagi. Dan akhirnya artikel ini saya lanjutkan di pagi hari ini, minggu. Malam tadi akhirnya saya berbaring sebentar dan tertidur setelah melanjutkan dengan satu paragraf dan minum kopimix. Memang kopimix tidak bisa membuat terjaga. Mungkin artikel ini sudah tidak lagi cocok diberi judul pengakuan hati di sabtu malam. Tetapi setelah dipikirkan sudah terlanjur sudah saya ketik dan saya malas mengganti lagi. Apa arti sebuah judul. Pagi ini saya sengaja lanjutkan karena saya merasa ada satu hal yang terbengkalai untuk diselesaikan. Suasana hari yang nyaman bagi saya adalah suasana di pagi hari. Suasana sangat memberikan kesejukan, kesegaran, dan kebugaran. Dan serasa pikiran ini masih fresh untuk menuangkan gagasan kreatif. Belajar untuk ujian pun saya lebih suka belajar di pagi hari. Selagi malam saya lebih suka membaca materi tidak mantap. Kemudian pagi-pagi sebelum subuh bangun untuk belajar. SKS atau Sistem Kebut Sepagi hari. Tetapi bagi yang suka belajar ini adalah contoh yang buruk. Tetapi cukup bekerja untuk memori jangka pendek.

Saat menulis artikel ini saya sambil mendengarkan pengajian Al Hikam mp3 yang saya dapatkan dari dosen saya sewaktu kuliah. Pengajian Al Hikam disampaikan oleh Kyai dari Jombang yang belum saya ketahui nama nya. Mungkin nanti akan saya tanyakan ke dosen saya lebih dahulu. Dan menjadi tidak fokus dalam menulis ini. Karena isi kajian yang sangat menarik untuk disimak. Dan akhirnya saya stop dulu untuk menyelesaikan artikel ini. Artikel ini bukan lah artikel yang terkonsep rapi dengan urutan alur tetapi adalah artikel bebas yang disusun secara inisidental yang ada di pikiran. Benar-benar-benar insidental. Insidental pula setelah sedikit saya mendengar pengajian tadi saya merasa kangen dengan rutinitas pengajian yang saya ikuti setiap minggu ke- 2, 3, 4 setiap bulannya di rumah dosen yang saya minta mp3 Al Hikam ini. Bagi saya aktivitas ini adalah sangat penting bagi mahasiswa-mahasiswi yang kajian keagamaannya sangat tidak proporsional di akademik perkuliahan. Saya berpikir pengajian ini lebih tepat sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Sampai-sampai secara tidak terkonsep aktivitas ini saya jadikan sebagai agenda rutin pengurus organisasi yang muslim ketika saya memimpin suatu organisasi. Lebih tepat bagi saya untuk mencari ilmu agama yang aman dan nyaman dibandingkan diskusi dengan mahasiswa yang sebagai pengurus organisasi keagamaan di kampus. Akan banyak emosi dan nafsu yang melingkari diri saya saat diskusi dengan mereka. Saya juga beberapa kali waktu itu mengajak teman-teman yang saya kenal untuk datang pengajian. Tapi ya itu semua terserah dengan kehendak hati mereka karena toh bukan ajakan saya yang menjadikan mereka mengerti ilmu agama. Di kosan pun hanya satu yang mampu bertahan rutin datang pengajian bersama dengan saya. Tetapi itu juga ketika ada saya di kos untuk mengajak dia. Jika tidak ada maka dia pun juga tidak datang karena merasa kurang nyaman tidak ada yang kenal. Saya juga pernah memintanya untuk mengajak teman kampusnya. Maklum pengajian ini banyak dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswi dari fakultas saya berkuliah waktu itu. Sampai saat ini agenda minggu ke- 2, 3,4 itu masih berlangsung dan saya berdoa semoga pengajian yang menjadi sarana belajar ilmu agama dengan belajar langsung dari guru nya akan tetap berlangsung sampai kapan pun. Dan semoga Tuhan memberkahi pengajian itu, orang-orangnya, dan yang memberikan sarana diselenggarakannnya pengajian tersebut.

Bicara tentang pagi ini di kosan pasti sangat sepi karena. Mesti saya sudah tidak lagi banyak tinggal di kos, Solo, tetapi sewa kamar kos saya masih sampai bulan September besok. Jadi kadang-kadang saya ke kos untuk sekedar ada urusan. Hari sabtu merupakan hari mudik bagi kebanyakan teman kos. Rumah yang cukup dekat memberikan kesempatan untuk pulang tiap weekend. Dan tidak jarang menyisakan 3-4 orang untuk menjdai satpam kos, termasuk saya. Saya adalah penghuni kos yang mendapat predikat satpam kos karena jarang sekali pulang mudik. Jarak solo semarang memang tidak terlalu jauh tetapi entah kenapa saya merasa ada saja hal yang harus diselesaikan waktu itu. Jadi jarang sekali pulang mudik. Terlebih lagi ketika kurang lebih 3 tahun saya mengikuti kegiatan organisasi kampus semakin membuat saya jarang pulang. Kadang rapat, kadang survei, kadang menyelesaikan proposal, kadang dimintai tanda tangan. Tapi saya suka semua itu. Bukan berarti saya tidak perhatian dengan orang tua. Saya kadang memberitahukan saya sedang apa dan akan apa. Saya tidak lupa berdoa untuk kesehatan dan kebahagiaan mereka. Yang saya tahu ridlo Tuhan bergantung kepada ridlo orang tua. Jadi berpikir apa lagi untuk selalu berdoa untuk kedua orang tua.

Untuk organisasi, saya masih dianggap sebagai koordinator Semarang Community (Semut). Yaitu komunitas mahasiswa-mahasiswi asal Semarang dan sekitarnya yang kuliah di UNS Solo. Dari awal berdirinya yaitu bulan puasa tahun 2008 sampai sekarang Mei 2011 saya masih sebagai koordinator. Bukan hal yang membanggakan bagi saya karena komunitas ini saya anggap kurang berkembang dan itu karena saya yang kurang menggiatkannya. Perlu adanya regenerasi. Sangat perlu. Dalam waktu dekat, kami berencana akan ada rekreasi ke Jumog dan di sekitaran kebun teh Kemuning. Semoga dapat terealisasikan karena seringnya komunitas ini hanya berakhir sampai di rencana saja tanpa ada pelaksanaan. Dan semoga untuk yang satu ini tidak berakhir seperti itu. Kegiatan itu saya pikir sangat pas untuk menunjukkan eksistensi komunitas ini di tengah hampir hilangnya semangat berkomunitas. Ada satu hal yang diungkapkan di sini bahwa mungkin komunitas ini tidak berkembang karena koordinatornya tidak kreatif dan lepas tangan tetapi kenyataannya saya kebanyakan juga lah yang menjalankan program yang telah disepakati padahal sudah sempat dibentuk bidang-bidang yang membidangi nya. Ada saja alasan yang membuat yang lain tidak bisa mensukseskan. Kemudian saya pikir ada baiknya jangan saling menyalahkan dan menyusun kegiatan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Terima kasih untuk teman-teman Semut yang kemarin-kemarin nongkrong di hik sampai diusir yang punya hik segala. Mengesankan.

Mungkin saya cukupkan saja cerita edisi kali ini sudah 5 halaman dan pasti nanti yang membaca akan lelah membaca lewat layar LCD atau layar monitor biasa nya. Sudah tidak akan sangat relevan lagi dengan judul di atas jika tulisan ini dilanjutkan. Tulisan ini hanya pengisi waktu di kala senggang. Dan seketika itu juga bau masakan ibu saya tercium harumnya membuat perut ini tak bisa kompromi menahan lapar. Memang akhir-akhir ini saya sedikit mengurangi jatah makan saya karena saya prihatin dengan kondisi perut kotak-kotak saya yang semakin mblendung saja. Tidak banyak aktivitas tetapi makan melaju kencang. Tidak seimbang. Itu yang membuat perut semakin membulat. Tulisan ini hanya pelipur lara terhadap pikiran yang akhir-akhir ini tidak banyak melakukan hal-hal, seperti yang sudah disampaikan. Semoga Heart Confession ini dapat diterima untuk dibaca blogwalker sekalian.

Category: 0 komentar